Bagaimana pendapat Anda tentang Validitas Hasil Ujian Nasional selama ini?

Home

Selamat Bergabung

SYAHIDINA BLOG ini didedikasikan untuk menjembatani komunikasi para pendidik, info pendidikan, Sekolah Islam Terpadu, Peluang & Tantangan Pendidikan, Usaha meningkatkan kesejahteraan pendidik, dan mampu menyatukan ide-ide cemerlang untuk majukan pendidikan Indonesia.

Pendidikan holistik & integrated merupakan paradigma yang sedang pesat untuk dikembangkan dan diterapkan diberbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, Malaysia, dll.
Perkembangan SIT merupakan warna baru dalam pendidikan di Indonesia yang disikapi dengan terbuka, kritis dan dinamis.

Blog ini terbuka bagi siapa saja yang memiliki visi yang sama yaitu memajukan pendidikan SIT pada umumnya dan Pendidikan bangsa pada umumnya.
Salam Sukses

Bekasi, Februari 2010

Blogger,


Syahidin Sanwiarji

Jumat, 10 Februari 2012

AYO GABUNG DI BISNIS ONLINE BERMODAL 0 RUPIAH


SAUDARA SEKALIAN...KINI ANDA DAPAT BERGABUNG DALAM BISNIS ONLINE BERMODAL 0 RUPIAH ALIAS GRATIS...

SEGERA GABUNG DISINI..


DAN BAGI ANDA YANG MENCARI RUMAH, MOBIL DAN PASANGAN IDAMAN SEGERA BUKA :

http://www.ti.co.id/?mitra=alkhalil

Minggu, 04 April 2010

Tips Sukses Ujian Akhir Sekolah

SEPULUH TIP SAAT UJIAN

• Ketika Anda melakukan ujian, Anda sedang mendemonstrasikan kemampuanmu dalam memahami materi pelajaran, atau dalam melakukan tugas-tugas tertentu.

• Ujian memberikan dasar evaluasi dan penilaian terhadap perkembangan belajarmu.

• Ada beberapa kondisi lingkungan, termasuk sikap dan kondisimu sendiri, yang mempengaruhimu dalam melakukan ujian.

Sepuluh tips untuk membantu Anda dalam mengerjakan ujian:
• Datanglah dengan persiapan yang matang dan lebih awal. Bawalah semua alat tulis yang Anda butuhkan, seperti pensil, pulpen, kalkulator, kamus, jam (tangan), penghapus, tip ex, penggaris, dan lain-lainnya. Perlengkapan ini akan membantumu untuk tetap konsentrasi selama mengerjakan ujian.

• Tenang dan percaya diri. Ingatkan dirimu bahwa Anda sudah siap sedia dan akan mengerjakan ujian dengan baik.

• Bersantailah tapi waspada. Pilihlah kursi atau tempat yang nyaman untuk mengerjakan ujian. Pastikan Anda mendapatkan tempat yang cukup untuk mengerjakannya. Pertahankan posisi duduk tegak.

• Preview soal-soal ujianmu dulu (bila ujian memiliki waktu tidak terbatas) Luangkan 10% dari keseluruhan waktu ujian untuk membaca soal-soal ujian secara mendalam, tandai kata-kata kunci dan putuskan berapa waktu yang diperlukan untuk menjawab masing-masing soal. Rencanakan untuk mengerjakan soal yang mudah dulu, baru soal yang tersulit. Ketika Anda membaca soal-soal, catat juga ide-ide yang muncul yang akan digunakan sebagai jawaban.

• Jawab soal-soal ujian secara strategis. Mulai dengan menjawab pertanyaan mudah yang Anda ketahui, kemudian dengan soal-soal yang memiliki nilai tertinggi. Pertanyaan terakhir yang seharusnya Anda kerjakan adalah: �� soal paling sulit, �� yang membutuhkan waktu lama untuk menulis jawabannya, �� memiliki nilai terkecil.

• Ketika mengerjakan soal-soal pilihan ganda, ketahuilah jawaban yang harus dipilih/ditebak. Mula-mulai, abaikan jawaban yang Anda tahu salah. Tebaklah selalu suatu pilihan jawaban ketika tidak ada hukuman pengurangan nilai, atau ketika tidak ada pilihan jawaban yang dapat Anda abaikan. Jangan menebak suatu pilihan jawaban ketika Anda tidak mengetahui secara pasti dan ketika hukuman pengurangan nilai digunakan. Karena pilihan pertama akan jawabanmu biasanya benar, jangan menggantinya kecuali bila Anda yakin akan koreksi yang Anda lakukan.

• Ketika mengerjakan soal ujian esai, pikirkan dulu jawabannya sebelum menulis. Buat kerangka jawaban singkat untuk esai dengan mencatat dulu beberapa ide yang ingin Anda tulis. Kemudian nomori ide-ide tersebut untuk mengurutkan mana yang hendak Anda diskusikan dulu.

• Ketika mengerjakan soal ujian esai, jawab langsung poin utamanya. Tulis kalimat pokokmu pada kalimat pertama. Gunakan paragraf pertama sebagai overview esaimu. Gunakan paragraf-paragraf selanjutnya untuk mendiskusikan poin-poin utama secara mendetil. Dukung poinmu dengan informasi spesifik, contoh, atau kutipan dari bacaan atau catatanmu.

• Sisihkan 10% waktumu untuk memeriksa ulang jawabanmu. Periksa jawabanmu; hindari keinginan untuk segera meninggalkan kelas segera setelah Anda menjawab semua soal-soal ujian. Periksa lagi bahwa Anda telah menyelesaikan semua pertanyaan. Baca ulang jawabanmu untuk memeriksa ejaan, struktur bahasa dan tanda baca. Untuk jawaban matematika, periksa bila ada kecerobohan (misalnya salah meletakkan desimal). Bandingkan jawaban matematikamu yang sebenarnya dengan penghitungan ringkas.

• Analisa hasil ujianmu. Setiap ujian dapat membantumu dalam mempersiapkan diri untuk ujian selanjutnya. Putuskan strategi mana yang sesuai denganmu. Tentukan strategi mana yang tidak berhasil dan ubahlah. Gunakan kertas ujian sebelumnya ketika belajar untuk ujian akhir.
Sumber: Landsberger, Joe. Ten Tips for Test Taking 10 Tips Saat Ujian
Posting by micka
http://mick182.blogspot.com/2008/01/sepuluh-tips-saat-ujian-sukses-uan.html

Minggu, 21 Maret 2010

Pengertian Soft Skill & Pembelajaran Berbasis Kompetensi

Pengertian Soft Skill dan Hard Skill

Oleh: Hafis Mu’addab, S.Pd
Berdasarkan data yang diadopsi dari Havard School of Bisnis, kemampuan dan keterampilan yang diberikan di bangku pembelajaran, 90 persen adalah kemampuan teknis dan sisanya soft skill. Padahal, yang nantinya diperlukan untuk menghadapi dunia kerja yaitu hanya sekitar 15 persen kemampuan hard skill. Dari data tersebut, lanjutnya, dapat menarik benang merah bahwa dalam memasuki dunia kerja soft skill-lah yang mempunyai peran yang lebih dominan. Lalu apakah soft skill dan hard skill itu?
Menurut Jessica Hollbrook hard skills diartikan sebagai processes, procedures, industry specific jargon and are easy to measure and quantify. They are terms such as; account management, talent acquisition and development, client retention, data management, project management, accounts receivable and payable, product support, and new business development.
Personal and interpersonal behaviors that develop and maximize human performance (e.g., coaching, team building, decision making,initiative). Soft skills do not include technical skills, such as financial, computer, quality, or assembly skills.
Hard skills merupakan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis yang berhubungan dengan bidang ilmunya. Sementara itu, soft skills adalah keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (interpersonal skills) dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intrapersonal skills) yang mampu mengembangkan unjuk kerja secara maksimal (Dennis E. Coates, 2006).
Menurut Ramdhani (2008) Soft skill sering juga disebut keterampilan lunak adalah keterampilan yang digunakan dalam berhubungan dan bekerjasama dengan orang lain.


Secara garis besar keterampilan ini dapat dikelompokkan ke dalam:
1. Process Skills
2. Social Skills
3. Generic Skills
Contoh lain dari keterampilan-keterampilan yang dimasukkan dalam kategori soft skills adalah integritas, inisiatif, motivasi, etika, kerja sama dalam tim, kepemimpinan, kemauan belajar, komitmen, mendengarkan, tangguh, fleksibel, komunikasi lisan, jujur, berargumen logis, dan lainnya. Keterampilan-keterampilan tersebut umumnya berkembang dalam kehidupan bermasyarakat.
Soft skills didefinisikan sebagai ”Personal and interpesonal behaviors that develop and maximize human performance (e.g. coaching, team building, initiative, decision making etc.) Soft skills does not include technical skills such as financial, computing and assembly skills “. (Berthal). Softskills adalah ketrampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (termasuk dengan dirinya sendiri). Atribut soft skills, dengan demikian meliputi nilai yang dianut, motivasi, perilaku, kebiasaan, karakter dan sikap. Atribut softskills ini dimiliki oleh setiap orang dengan kadar yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh kebiasaan berfikir, berkata, bertindak dan bersikap. Namun, atribut ini dapat berubah jika yang bersangkutan mau merubahnya dengan cara berlatih membiasakan diri dengan hal-hal yang baru.
Di Indonesia belum ada dokumen resmi untuk memberikan informasi atribut soft skills apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja atau dunia usaha, Beberapa lembaga pendidikan/perguruan tinggi, lembaga konsultan SDM dan beberapa acara diskusi terbatas di DIKTI telah menghasilkan rumusan atribut soft skills yang bervariasi di dunia pekerjaan. Misalnya, hasil Tracer Study yang dilakukan oleh Departemen (dulu jurusan) Teknologi Industri Pertanian IPB tahun 2000, menyatakan bahwa atribut jujur, kerjasama dalam tim, integritas, komunikasi bahwakan rasa humor sangat diperlukan dalam dunia kerja.
Penulis buku-buku serial manajemen diri, Aribowo, membagi soft skills atau people skills menjadi dua bagian, yaitu intrapersonal skills dan interpersonal skills. Intrapersonal skills adalah keterampilan seseorang dalam ”mengatur” diri sendiri. Intrapersonal skills sebaiknya dibenahi terlebih dahulu sebelum seseorang mulai berhubungan dengan orang lain. Adapun Interpersonal skills adalah keterampilan seseorang yang diperlukan dalam berhubungan dengan orang lain. Dua jenis keterampilan tersebut dirinci sebagai berikut:
Intrapersonal Skill
• Transforming Character
• Transforming Beliefs
• Change management
• Stress management
• Time management
• Creative thinking processes
• Goal setting & life purpose
• Accelerated learning techniques
Interpersonal Skill
• Communication skills
• Relationship building
• Motivation skills
• Leadership skills
• Self-marketing skills
• Negotiation skills
• Presentation skills
• Public speaking skills


Dari deskripsi diatas maka dapat ditarik kesimpulan ;
Hard skill adalah penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan ketrampilan teknis yang berhubungan dengan bidang ilmunya. Sedangkan soft skill adalah ketrampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (termasuk dengan dirinya sendiri). Semua profesi membutuhkan keahlian (hard skill) tertentu akan tetapi semua profesi memerlukan soft skill
Soft Skill-Hard Skill Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi


Kurikulum (menurut SK Mendiknas No. 232/ U/ 2000 Ps. 1 butir 6) adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaiannya dan penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di perguruan Tinggi. Sedangkan yang dimaksud dengan Kompetensi (dalam SK Mendiknas No. 045/ U/ 2002, Ps. 21) adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Jadi Kurikulum berbasis Kompetensi ialah kurikulum yang disusun berdasarkan atas elemen-elemen kompetensi yang dapat menghantarkan peserta didik untuk mencapai kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi lain sebagai a method of inquiry yang diharapkan. Yang dimaksud dengan method inquary diantaranya adalah suatu metode pembelajaran yang menumbuhkan hasrat besar untuk ingin tahu, meningkatkan kemampuan untuk menggunakan atribut kompetensi guna menentukan pilihan jalan kehidupan di masyarakat, meningkatkan cara belajar sepanjang hayat (learning to learn dan learning throughout life). Dengan kata lain, KBK adalah kurikulum yang menitikberatkan pada pencapaian kompetensi lulusan. Dalam Taxonomi Bloom kompetensi terdiri dari Kognitif meliputi pengetahuan, Afektif meliputi sikap, nilai, minat, dan Psikomotorik yang mencakup ketrampilan.
Penerapan KBK berpengaruh besar terhadap perubahan sistem belajar-mengajar, yang dulunya teacher-centered (berpusat pada dosen), menjadi student-centered (berpusat pada mahasiswa). Perubahan proses ini juga berpengaruh terhadap metode belajar mengajar. Diyakini bahwa metode belajar yang berpusat pada mahasiswa lebih bisa mengembangkan softskill mahasiswa. Oleh karena selain memperoleh hard-skill (komptensi utama sesuai bidang ilmu), mahasiswa juga akan terbiasa mengasah kemampuan lain yang dibutuhkan untuk mendukung kesuksesannya dalam menjalankan profesinya, yakni softskill.
Dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pentingnya penguasaan soft skill dan hard skill dibuktikan dengan penetapan pendidikan kecakapan hidup dalam pembelajaran. Didefinisikan bahwa seorang siswa memiliki beberapa kecakapan, yang harus mampu diimplementasikan dalam pembelajaran.
Konsep soft skill dan hard skill dalam Kurukulum Berbasis Kompetensi (KBK) memiliki kesamaan konsep pendidikan kecakapan hidup. Konsep kecakapan hidup sejak lama menjadi perhatian para ahli dalam pengembangan kurikulum. Tyler (1947) dan Taba (1962) misalnya, mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup dan bekerja. Pengembangan kecakapan hidup itu mengedepankan aspek-aspek berikut: (1) kemampuan yang relevan untuk dikuasai peserta didik, (2) materi pembelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, (3) kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik untuk mencapai kompetensi, (4) fasilitas, alat dan sumber belajar yang memadai, dan (5) kemampuan-kemampuan yang dapat diterapkan dalam kehidupan peserta didik.

Kecakapan hidup akan memiliki makna yang luas apabila kegiatan pembelajaran yang dirancang memberikan dampak positif bagi peserta didik dalam membantu memecahkan problematika kehidupannya, serta mengatasi problematika hidup dan kehidupan yang dihadapi secara proaktif dan reaktif guna menemukan solusi dari permasalahannya
Banyak pendapat dan literatur yang mengemukakan bahwa pengertian kecakapan hidup bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional) tetapi memiliki makna yang lebih luas. WHO (1997) mendefinisikan bahwa kecakapan hidup sebagai keterampilan atau kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam kehidupan secara lebih efektif. Kecakapan hidup mencakup lima jenis, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri, (2) kecakapan berpikir, (3) kecakapan sosial, (4) kecakapan akademik, dan (5) kecakapan kejuruan.
Barrie Hopson dan Scally (1981) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengembangan diri untuk bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan baik secara individu, kelompok maupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu. Sementara Brolin (1989) mengartikan lebih sederhana yaitu bahwa kecakapan hidup merupakan interaksi dari berbagai pengetahuan dan kecakapan sehingga seseorang mampu hidup mandiri. Pengertian kecakapan hidup tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu (vocational job), namun juga memiliki kemampuan dasar pendukung secara fungsional seperti: membaca, menulis, dan berhitung, merumuskan dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam kelompok, dan menggunakan teknologi (Dikdasmen, 2002).
Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa pendidikan kecakapan hidup merupakan kecakapan-kecakapan yang secara praksis dapat membekali peserta didik dalam mengatasi berbagai macam persoalan hidup dan kehidupan. Kecakapan itu menyangkut aspek pengetahuan, sikap yang didalamnya termasuk fisik dan mental, serta kecakapan kejuruan yang berkaitan dengan pengembangan akhlak peserta didik sehingga mampu menghadapi tuntutan dan tantangan hidup dalam kehidupan

Soft Skill Modal Utama Kesuksesan Seseorang

Antara Hard Skill dan Soft Skill


Mengapa ?

Dunia kerja percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja tetapi juga piawai dalam aspek soft skillnya. Dunia pendidikanpun mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill.

Adalah suatu realita bahwa pendidikan di Indonesia lebih memberikan porsi yang lebih besar untuk muatan hard skill, bahkan bisa dikatakan lebih berorientasi pada pembelajaran hard skill saja. Lalu seberapa besar semestinya muatan soft skill dalam kurikulum pendidikan?, kalau mengingat bahwa sebenarnya penentu kesuksesan seseorang itu lebih disebabkan oleh unsur soft skillnya.

Jika berkaca pada realita di atas, pendidikan soft skill tentu menjadi kebutuhan urgen dalam dunia pendidikan. Namun untuk mengubah kurikulum juga bukan hal yang mudah. Pendidik seharusnya memberikan muatan-muatan pendidikan soft skill pada proses pembelajarannya. Sayangnya, tidak semua pendidik mampu memahami dan menerapkannya. Lalu siapa yang harus melakukannya? Pentingnya penerapan pendidikan soft skill idealnya bukan saja hanya untuk anak didik saja, tetapi juga bagi pendidik.


Apa ?

Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan diluar kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan kemampuan intra dan interpersonal.

Secara garis besar soft skill bisa digolongkan ke dalam dua kategori : intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill mencakup : self awareness (self confident, self assessment, trait & preference, emotional awareness) dan self skill ( improvement, self control, trust, worthiness, time/source management, proactivity, conscience). Sedangkan interpersonal skill mencakup social awareness (political awareness, developing others, leveraging diversity, service orientation, empathy dan social skill (leadership,influence, communication, conflict management, cooperation, team work, synergy)


Pada proses rekrutasi karyawan, kompetensi teknis dan akademis (hard skill) lebih mudah diseleksi. Kompetensi ini dapat langsung dilihat pada daftar riwayat hidup, pengalaman kerja, indeks prestasi dan ketrampilan yang dikuasai. Sedangkan untuk soft skill biasanya dievaluasi oleh psikolog melalui psikotes dan wawancara mendalam. Interpretasi hasil psikotes, meskipun tidak dijamin 100% benar namun sangat membantu perusahaan dalam menempatkan ‘the right person in the right place’.

Hampir semua perusahaan dewasa ini mensyaratkan adanya kombinasi yang sesuai antara hard skill dan soft skill, apapun posisi karyawannya. Di kalangan para praktisi SDM, pendekatan ala hard skill saja kini sudah ditinggalkan. Percuma jika hard skill oke, tetapi soft skillnya buruk. Hal ini bisa dilihat pada iklan-iklan lowongan kerja berbagai perusahaan yang juga mensyaratkan kemampuan soft skill, seperi team work, kemampuan komunikasi, dan interpersonal relationship, dalam job requirementnya. Saat rekrutasi karyawan, perusahaan cenderung memilih calon yang memiliki kepribadian lebih baik meskipun hard skillnya lebih rendah. Alasannya sederhana : memberikan pelatihan ketrampilan jauh lebih mudah daripada pembentukan karakter. Bahkan kemudian muncul tren dalam strategi rekrutasi „ Recruit for Attitude, Train for Skill“.

Hal tersebut menunjukkan bahwa : hard skill merupakan faktor penting dalam bekerja, namun keberhasilan seseorang dalam bekerja biasanya lebih ditentukan oleh soft skillnya yang baik.
Psikolog kawakan, David McClelland bahkan berani berkata bahwa faktor utama keberhasilan para eksekutif muda dunia adalah kepercayaan diri, daya adaptasi, kepemimpinan dan kemampuan mempengaruhi orang lain. Yang tak lain dan tak bukan merupakan soft skill.


Bagaimana ?

Para ahli manajemen percaya bahwa bila ada dua orang dengan bekal hard skill yang sama, maka yang akan menang dan sukses di masa depan adalah dia yang memiliki soft skill lebih baik. Mereka adalah benar-benar sumber daya manusia unggul, yang tidak hanya semata memiliki hard skill baik tetapi juga didukung oleh soft skill yang tangguh.

Pada posisi bawah, seorang karyawan tidak banyak menghadapai masalah yang berkaitan dengan soft skill. Masalah soft skill biasanya menjadi lebih kompleks ketika seseorang berada di posisi manajerial atau ketika dia harus berinteraksi dengan banyak orang. Semakin tinggi posisi manajerial seseorang di dalam piramida organisasi, maka soft skill menjadi semakin penting baginya. Pada posisi ini dia akan dituntut untuk berinteraksi dan mengelola berbagai orang dengan berbagai karakter kepribadian. Saat itulah kecerdasan emosionalnya diuji.

Umumnya kelemahan dibidang soft skill berupa karakter yang melekat pada diri seseorang. Butuh usaha keras untuk mengubahnya. Namun demikian soft skill bukan sesuatu yang stagnan. Kemampuan ini bisa diasah dan ditingkatkan seiring dengan pengalaman kerja. Ada banyak cara meningkatkan soft skill. Salah satunya melalui learning by doing. Selain itu soft skill juga bisa diasah dan ditingkatkan dengan cara mengikuti pelatihan-pelatihan maupun seminar-seminar manajemen. Meskipun, satu cara ampuh untuk meningkatkan soft skill adalah dengan berinteraksi dan melakukan aktivitas dengan orang lain.


Source : http://www.infocomcareer.com
Dikirim oleh Admin
Tanggal 2008-10-23
Jam 15:21:27

Tips Sukses Ujian Nasional (UN)

Tips Sukses Ujian Nasional (UN)

Sudah banyak tips, sukses ujian nasional (UN). Namun ini hanya republish dari milik teman untuk pengunjung setia StudentMagz.Com. Sebelumnya disini juga sudah ada artikel Kiat Sukses Ujian Nasional, namun tips berikut adalah kelanjutannya.

Tips Sukses Ujian Nasional

1. Pelajari Latihan Contoh-Contoh Soal
Berhubung UN didominasi oleh soal-soal pilihan ganda maka latihan contoh-contoh soal, baik berupa ulangan biasa ataupun soal-soal UN tahun sebelumnya. Gunakanlah buku-buku soal di toko buku, berlatihlah selalu, hal-ini agar terbiasa saat mengerjakan soal UN.

2. Belajar Latihan Soal dari Bimbingan Belajar

Pelajari setiap latihan soal yang diberikan dari bimbingan belajar. Karena selaen sekolah yang punya kisi-kisi Ujian Nasional itu adalah hampir semua bimbingan belajar. Pasti mereka pengen setiap yang ikut bimbingan belajarnya sukses UN dan membuat reputasi bimbingan belajar itu jadi baik.

3. Buat Catatan Kecil
Maksudnya bukan catatan untuk contekan, namun buat diingat dimana aja. Catatan bisa berupa secarik kertas atau apapun. Terpenting bisa dibawa kemana-mana.

4. Jangan Tegang
Hadapi dengan santai tapi serius. Hilangkan pikiran mendapatkan nilai asal lulus, tanamkan bahwa nilai UN itu harus bisa dapat yang tertinggi.

5. Persiapkan Senjata Hadapi UN
Siapkan kartu ujian dan segala perlengkapannya. Jika sudah lengkap, pastikan tidak ada yang membebankan pikirin lagi hingga pikiran tenang.

Semoga sukses menghadapi Ujian Nasional ya!

Tips Sukses Ujian Nasional disadur ulang dari: AyaElectro.Wordpress.Com

10 Principles of Assessment For Learning

There are 10 (ten) Principles of Assesment for learning:

1. Assessment for learning should be part of effective planning of teaching and learning.

A teacher's planning should provide opportunities for both learner and teacher to obtain and use information about progress towards learning goals. It also has to be flexible to respond to initial and emerging ideas and skills. Planning should include strategies to ensure that learners understand the goals they are pursuing and the criteria that will be applied in assessing their work. How learners will receive feedback, how they will take part in assessing their learning and how they will be helped to make further progress should also be planned.

2. Assessment for learning should focus on how students learn

The process of learning has to be in the minds of both learner and teacher when assessment is planned and when the evidence is interpreted. Learners should become as aware of the 'how' of their learning as they are of the 'what'.


3. Assessment for learning should be recognized as central to classroom practice

Much of what teachers and learners do in classrooms can be described as assessment. That is, tasks and questions prompt learners to demonstrate their knowledge, understanding and skills. What learners say and do is then observed and interpreted, and judgments are made about how learning can be improved. These assessment processes are an essential part of everyday classroom practice and involve both teachers and learners in reflection, dialogue and decision making.

4. Assessment for learning should be regarded as a key professional skill for teachers

Teachers require the professional knowledge and skills to: plan for assessment; observe learning; analyze and interpret evidence of learning; give feedback to learners and support learners in self-assessment. Teachers should be supported in developing these skills through initial and continuing professional development.

5. Assessment for learning should be sensitive and constructive because any assessment has an emotional impact

Teachers should be aware of the impact that comments, marks and grades can have on learners' confidence and enthusiasm and should be as constructive as possible in the feedback that they give. Comments that focus on the work rather than the person are more constructive for both learning and motivation.

6. Assessment for learning should take account of the importance of learner motivation

Assessment that encourages learning fosters motivation by emphasizing progress and achievement rather than failure. Comparison with others who have been more successful is unlikely to motivate learners. It can also lead to their withdrawing from the learning process in areas where they have been made to feel they are 'no good'. Motivation can be preserved and enhanced by assessment methods which protect the learner's autonomy, provide some choice and constructive feedback, and create opportunity for self-direction.

7. Assessment for learning should promote commitment to learning goals and a shared understanding of the criteria by which they are assessed

For effective learning to take place learners need to understand what it is they are trying to achieve - and want to achieve it. Understanding and commitment follows when learners have some part in deciding goals and identifying criteria for assessing progress. Communicating assessment criteria involves discussing them with learners using terms that they can understand, providing examples of how the criteria can be met in practice and engaging learners in peer and self-assessment.

8. Learners should receive constructive guidance about how to improve

Learners need information and guidance in order to plan the next steps in their learning. Teachers should:
• pinpoint the learner's strengths and advise on how to develop them
• be clear and constructive about any weaknesses and how they might be addressed
• Provide opportunities for learners to improve upon their work.

9. Assessment for learning develops learners' capacity for self-assessment so that they can become reflective and self-managing

Independent learners have the ability to seek out and gain new skills, new knowledge and new understandings. They are able to engage in self-reflection and to identify the next steps in their learning. Teachers should equip learners with the desire and the capacity to take charge of their learning through developing the skills of self-assessment.

10. Assessment for learning should recognize the full range of achievements of all learners

Assessment for learning should be used to enhance all learners' opportunities to learn in all areas of educational activity. It should enable all learners to achieve their best and to have their efforts recognized.

Rabu, 10 Februari 2010

SEKOLAH ISLAM TERPADU DAN TANTANGAN MASA DEPAN

SEKOLAH BERBASIS KEAGAMAAN DAN TANTANGAN BERSAMA DI MASA DEPAN

Perkembangan sekolah-sekolah berbasis keagamaan baik di tanah air
maupun di negara-negara maju akhir-akhir ini adalah fenomena yang
menarik. Di berbagai kota di tanah air bermunculan dengan pesatnya
sekolah berbasis keagamaan, baik itu Islam ataupun Nasrani (Kristen,
Katholik, maupun Advent). Boleh dikata 80% sekolah-sekolah swasta yang
baru dibuka adalah sekolah berbasis keagamaan, baik itu di
kompleks-kompleks perumahan mewah maupun di daerah-daerah.
Sekolah-sekolah dengan label SDIT/SMPIT (Sekolah Dasar/Menengah Islam
Terpadu) marak didirikan dimana-mana. Sekolah-sekolah berbasis agama
Nasrani juga tidak kurang gencarnya dibuka dimana-mana. Saat ini hampir
di semua kompleks perumahan atau properti besar berdiri sekolah-sekolah
Nasrani. TPA-TPA (Taman Pengajian AlQur’an) dan Sekolah-sekolah Minggu
semakin marak. Bahkan sekolah-sekolah negeri dan swasta umum juga mulai
menekankan pentingnya peran agama dalam kurikulum mereka. Beberapa
sekolah umum mengganti pakaian seragamnya dengan pakaian seragam yang
bernuansa agamis seperti rok panjang dan jilbab bagi para siswinya. Di
negara-negara maju pun (Australia, Inggris, USA) sekolah berbasis
keagamaan tumbuh subur dan semakin banyak peminatnya. Ada apa yang
terjadi dengan semua ini? Darimana tumbuhnya kesadaran keagamaan macam
ini? Apa peran penting sekolah-sekolah berbasis keagamaan ini di masa
depan?

Beberapa ahli berpendapat bahwa gerakan ini merupakan gerakan
perlawanan dari masyarakat atau titik balik terhadap paham materialisme
yang beberapa waktu yang lalu telah mencapai puncaknya sehingga seluruh
dunia seolah telah berada dalam genggamannya. Paham ini membonceng pada
modernisasi dan melahirkan ‘anak’ pahamnya seperti hedonisme,
pornografi, konsumerisme, kultur MTV, dll. Yang disebut oleh Benjamin
Barber, seorang ilmuwan politik sebagai ‘The McWorld’.
Masyarakat yang mengagungkan nilai-nilai keagamaan, maupun masyarakat
di negara-negara maju yang telah muak dengan ekses paham materialisme
ini, merasa gerah dengan kehidupan sosial yang sangat sekuler tersebut
dan merasa bahwa paham tersebut akan menghancurkan nilai-nilai
kepercayaan dasar ataupun nilai-nilai moral universal yang selama ini
mereka junjung tinggi. Mereka merasa bahwa paham materialisme telah
mencabut akar-akar nilai kepercayaan anak-anak mereka dan mengubah
mereka menjadi penganut-penganut paham materialisme dan turunannya,
atau populernya di kalangan agamawan disebut ‘murtad’. ‘The McWord’
memang sangat besar pengaruhnya untuk ‘memurtadkan’ generasi muda. Para
orang tua dengan cemas melihat betapa anak-anak mereka menjadi
hedonistik, permissif, dan terjerat oleh obat bius. Mereka tergila-gila
pada para ‘pop stars’ dan tidak pernah kenal dengan para pahlawan,
pemimpin ataupun tokoh-tokoh agama mereka. Kultur-kultur yang dibangun
di sekolah ‘umum’ selama ini, terutama di kota-kota besar, kalah telak
bersaing dengan ‘gemerlap’nya daya tarik ‘The McWorld’.
Kecemasan ini mendorong mereka untuk menciptakan suasana-suasana
kultural dimana, mereka berharap, bahwa ‘The McWorld’ tidak akan dapat
menembusnya. Mereka ingin mendidik anak-anak mereka dalam suasana
keagamaan sebanyak mungkin agar pengaruh ‘The McWorld’ tidak
mendominasi jiwa anak-anak mereka.
Sebagian orang tua yang sangat cemas dengan dampak modernisasi kemudian
memilih untuk ‘mensterilkan’ anak-anak mereka dari pengaruh tersebut
samasekali dengan memasukkan anak-anak mereka di pondok-pondok
pesantren, seminari atau biara-biara tradisional dengan pola pengajaran
dan lingkungan yang jauh dari pengaruh modernisasi. Mereka berpikir
bahwa hal tersebut dapat menyelamatkan anak-anak mereka dari pengaruh
kehidupan luar yang dianggap sudah tidak bisa ditolerir tersebut. Tak
sedikit orang tua dari kalangan menengah yang melakukan hal ini dengan
harapan bahwa hal ini akan dapat menyelamatkan anak-anak mereka dari
‘The McWorld’. Pesantren-pesantren tradisional maupun yang berlabel
modern menjadi laku keras.
Tapi usaha ini menghadapi problema serius, yaitu teralienasinya
anak-anak mereka dari kehidupan modern selepas mereka dari pendidikan
tradisional tersebut. Lulusan sekolah-sekolah keagamaan tradisional ini
pada umumnya menjadi gagap dan tak mampu menyesuaikan diri dengan
kehidupan modern. Mereka tersingkir dari kehidupan dunia dan kesulitan
untuk berkontribusi secara aktif dalam kehidupan modern karena mereka
memang tidak dipersiapkan untuk itu. Sebagian besar dari mereka memilih
untuk hidup dengan cara hidup tradisional sebagaimana mereka diajarkan
dan menyingkir dari kehidupan modern. Sebagian dari mereka yang hidup
di kota-kota besar kemudian menyerah dan larut pada kehidupan modern
dengan segala eksesnya. Sebagian kecil kemudian menjadi ekstrim dan
memilih untuk ‘memusuhi’ modernitas yang selama ini dipersepsikan
sebagai ‘induk’ dari semua kejahatan. Mereka menyalahkan modernitas
sebagai penyebab dari ini semua dan sebagai konsekuensinya menolak
modernitas dan berpaling pada konservatisme dan radikalisme.
Jangan pandang enteng pengaruhnya. Trauma psikologis yang diakibatkan
oleh pertentangan ini bisa mengakibatkan efek samping yang fatal.
Seperti yang kita lihat pada begitu banyaknya peristiwa teror pemboman
dimana-mana, krisis identitas dapat mengubah pemuda-pemudi yang taat
pada agamanya menjadi teroris. Mereka akan melihat gempuran paham
materialisme tersebut begitu mengancam sisi lain dari kehidupan mereka
sebagai seorang agamawan yang taat dan merasa perlu untuk beralih
secara radikal menjadi seorang ‘martyr’ atau ‘syuhada’ untuk
mempertahankan paham keagamaan mereka. Semacam ‘necrophilic nihilism’
yang ditampilkan dalam jubah fanatisme agama.
Realita inilah yang membuat para orang tua berpikir untuk membuat
alternatif lain sebagai ganti dari sekolah-sekolah keagamaan
tradisional tersebut. Mereka sadar bahwa meski pendidikan dan kultur
agama sangat diperlukan bagi masa depan anak-anak tapi modernitas juga
mesti diakomodir agar anak-anak mereka juga dapat menjadi pemenang
dalam kehidupan dunia. Sekolah haruslah mampu memberikan bekal
dasar-dasar keagamaan yang cukup untuk menghadapi materialisme dan
sekaligus mampu membuat anak-anak mereka tampil cakap di dunia modern.
Kesadaran inilah yang kemudian menumbuhsuburkan sekolah-sekolah
berbasis keagamaan yang mengusung ilmu pengetahuan dan teknologi modern
dalam kurikulum mereka sebagai upaya untuk memenangi kehidupan dunia.

Materialisme vs Modernitas
Mengapa modernitas dicurigai dan bahkan dimusuhi oleh kaum agamawan
tradisional? Modernitas tidaklah identik dengan paham materialisme.
Modernitas adalah kemajuan jaman sebagai berkah dari ilmu pengetahuan
dan teknologi sedangkan materialisme adalah paham yang menganggap bahwa
hanya materi yang eksis dan yang non-materi hanyalah ilusi para
penganut agama (believers). Modernitas, meski dapat menumbuhkan paham
materialisme, tidaklah bertentangan dengan paham keagamaan. Islam pada
fitrahnya adalah agama yang universal sehingga dianggap mampu untuk
mengikuti perkembangan jaman semodern apapun. Islam tidak menganggap
haram materi ataupun kekayaan meskipun menolak paham materialisme yang
beranggapan bahwa materilah yang paling penting dan menolak segala hal
yang berbau spiritual, termasuk keberadaan Tuhan. Sebaliknya, Islam
menyodorkan keseimbangan dalam memandang kehidupan dunia dan kehidupan
akhirat dan Tuhanlah asal segala sesuatu
Dengan demikian mesti dipahami bahwa modernitas sebagai konsekuensi
dari kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah
‘musuh’ dari paham ketuhanan ataupun agama yang perlu kita tentang atau
jauhi. Perlu diakui bahwa beberapa aspek kehidupan gemerlap dari Barat,
tidaklah semuanya buruk dan ‘sesat'. Tidak ada yang salah jika generasi
muda menggunakan celana jeans, makan ‘fast food’ (lepas dari masalah
kesehatannya), dan mendengarkan musik pop sepanjang mereka tetap
berpegang teguh pada dasar-dasar keimanan tentang Allah dan
perintah-perintahNya. Jika seorang remaja memiliki kesadaran dan
pemahaman tentang aturan-aturan agama yang dianutnya maka ia akan lebih
percaya diri dan mampu menghadapi kehidupan modern tanpa harus tercebur
dan terseret oleh eksesnya yang berwujud paham materialisme. Seorang
remaja yang agamis perlu memahami dan terbuka terhadap kesempatan dan
tawaran dari dunia modern tapi tetap sadar akan pentingnya memegang
integritas dan standar moral dari keyakinan agama yang dimilikinya.
Masalah inti yang perlu ditanamkan adalah keimanan akan Tuhan dan
memandang dunia dengan pikiran dan hati berdasarkan ketuhanan. Jika
seseorang telah menancapkan keimanan dalam hatinya dengan teguh maka ia
tidak perlu menutup diri terhadap perubahan ataupun datangnya budaya
asing. Jika ia telah mencapai kesadaran penuh tentang Tuhan maka ia
sebenarnya telah berjalan dalam bimbingan dan cahaya Tuhan.
Pemahamannya akan ketuhanan (divinity) ataupun spiritualitas akan
memberikan filter baginya dalam menghadapi berbagai paham lain yang
bertentangan dengan paham yang diyakininya
Lantas bagaimana generasi muda dapat memperoleh kesadaran tersebut?
Untuk menjawabnya kita mesti memahami masalah yang kita hadapi terlebih
dahulu. Ekses yang timbul dari modernitas adalah semakin kuatnya peran
ilmu pengetahuan dan teknologi dan semakin ditinggalkannya pemikiran
yang bersifat ketuhanan (divine). Kehidupan modern dapat membuat orang
merasa tidak lagi memerlukan Tuhan dalam kehidupannya. Mereka merasa
bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan segala hal yang
mereka butuhkan dalam kehidupan dan ‘Tuhan telah mati’. Iklan-iklan
menggempur kita dengan kebohongan bahwa kita bisa berbahagia jika
menggunakan produk-produk tertentu. Perusahaan asuransi lebih
dipercayai daripada janji Tuhan dalam buku suci. Ilmu pengetahuan
populer menyodorkan teori bahwa alam semesta ini muncul dengan
sendirinya karena hukum alam semata. Ini semuanya berdasar pada paham
materialisme yang merupakan musuh bersama dari umat beragama dan bukan
modernitas itu sendiri.

Paham Materialisme sebagai Lawan dari Sekolah Berbasis Keagamaan

Sekolah-sekolah berbasis keagamaan mestilah bersatu padu dalam
menghadapi perang ideologi pemahaman ini yaitu perang melawan
materialisme dan ‘anak-anak’ pahamnya. Sekolah-sekolah berbasis
keagamaan seharusnya bergabung dalam suatu ‘persekutuan’ dalam
menentang paham materialisme dengan segala eksesnya tersebut.
Materialisme menolak keberadaan jiwa sebagai spirit dan menganggap
manusia tidak lebih dari molekul-molekul yang tersusun secara canggih
sebagai hukum alam. Pikiran, perasaan dan emosi hanyalah merupakan
reaksi kimia dalam sel otak kita. Singkatnya, materialisme adalah
filosofi yang mendasari ateisme, yang merupakan lawan dari teisme yang
merupakan dasar dari sekolah-sekolah berbasis keagamaan.
Sekolah-sekolah tersebut hendaknya tidak menolak produk dunia modern
seperti ilmu pengetahuan dan teknologi melainkan memusatkan
perhatiannya pada upaya memberantas ‘wabah’ intelektualisme yang
mengajak manusia pada ‘dunia tak bertuhan’. Sesungguhnya yang disebut
sebagai ‘clash of civilization’ bukanlah antara Islam dan Dunia Barat
melainkan Teisme melawan Materialisme, demikian ungkap Mustafa Akyol,
seorang ilmuwan politik dari Turki.
Meski sering saling serang antara sesama umat beragama sehingga
menyebabkan timbulnya kecurigaan satu sama lain selama ini, sebenarnya
tidak ada pertentangan mendasar dari kedua agama besar, Islam dan
Kristen, dalam menghadapi ateisme sebagai ekses dari materialisme. Dari
sudut pandang Islam, orang-orang Nasrani adalah teman dan sekutu
terdekat seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an (5:82). Islam dan
Kristen (dan Yahudi) memiliki persamaan pandangan seperti tertera dalam
Ali Imran (3:64),:”Katakanlah :Wahai Ahli AlKitab. Marilah kita bersatu
kata antara kita, kamu dan kami, bahwa kita tiada menyembah selain
Allah, dan bahwa kita tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, dan
tidak ada diantara kita yang akan menyembah selain Allah. ….” Keyakinan
bersama tentang Tuhan merupakan modal besar bagi penganut agama samawi
untuk menghadapi ‘clash of civilization’ tersebut. Jika ada
pertarungan besar pada abad 21 maka itu bukanlah antara Islam dan
Barat, melainkan paham ketuhanan, dimana para sarjana dari berbagai
agama bersatu padu, melawan paham materialisme, yang dipelopori oleh
para sarjana ateis. Disinilah peran penting sekolah-sekolah berbasis
keagamaan tersebut di masa mendatang, yaitu sebagai pemasok
ilmuwan-ilmuwan dan sarjana tangguh pembela paham ketuhanan.
Sudah saatnya sekolah-sekolah berbasis keagamaan ini bersatu dan
bekerjasama dalam menghadapi ‘common enemy’, yaitu paham materialisme
dan ateisme. Sudah saatnya mereka menghancurkan rasa saling curiga dan
mengembangkan kepercayaan (trust) agar dapat bekerjasama menuju
kemajuan bersama dalam modernitas. Semoga!

Jakarta, 11 November 2005

Satria Dharma