Bagaimana pendapat Anda tentang Validitas Hasil Ujian Nasional selama ini?

Home

Selamat Bergabung

SYAHIDINA BLOG ini didedikasikan untuk menjembatani komunikasi para pendidik, info pendidikan, Sekolah Islam Terpadu, Peluang & Tantangan Pendidikan, Usaha meningkatkan kesejahteraan pendidik, dan mampu menyatukan ide-ide cemerlang untuk majukan pendidikan Indonesia.

Pendidikan holistik & integrated merupakan paradigma yang sedang pesat untuk dikembangkan dan diterapkan diberbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, Malaysia, dll.
Perkembangan SIT merupakan warna baru dalam pendidikan di Indonesia yang disikapi dengan terbuka, kritis dan dinamis.

Blog ini terbuka bagi siapa saja yang memiliki visi yang sama yaitu memajukan pendidikan SIT pada umumnya dan Pendidikan bangsa pada umumnya.
Salam Sukses

Bekasi, Februari 2010

Blogger,


Syahidin Sanwiarji

Rabu, 10 Februari 2010

SEKOLAH ISLAM TERPADU DAN TANTANGAN MASA DEPAN

SEKOLAH BERBASIS KEAGAMAAN DAN TANTANGAN BERSAMA DI MASA DEPAN

Perkembangan sekolah-sekolah berbasis keagamaan baik di tanah air
maupun di negara-negara maju akhir-akhir ini adalah fenomena yang
menarik. Di berbagai kota di tanah air bermunculan dengan pesatnya
sekolah berbasis keagamaan, baik itu Islam ataupun Nasrani (Kristen,
Katholik, maupun Advent). Boleh dikata 80% sekolah-sekolah swasta yang
baru dibuka adalah sekolah berbasis keagamaan, baik itu di
kompleks-kompleks perumahan mewah maupun di daerah-daerah.
Sekolah-sekolah dengan label SDIT/SMPIT (Sekolah Dasar/Menengah Islam
Terpadu) marak didirikan dimana-mana. Sekolah-sekolah berbasis agama
Nasrani juga tidak kurang gencarnya dibuka dimana-mana. Saat ini hampir
di semua kompleks perumahan atau properti besar berdiri sekolah-sekolah
Nasrani. TPA-TPA (Taman Pengajian AlQur’an) dan Sekolah-sekolah Minggu
semakin marak. Bahkan sekolah-sekolah negeri dan swasta umum juga mulai
menekankan pentingnya peran agama dalam kurikulum mereka. Beberapa
sekolah umum mengganti pakaian seragamnya dengan pakaian seragam yang
bernuansa agamis seperti rok panjang dan jilbab bagi para siswinya. Di
negara-negara maju pun (Australia, Inggris, USA) sekolah berbasis
keagamaan tumbuh subur dan semakin banyak peminatnya. Ada apa yang
terjadi dengan semua ini? Darimana tumbuhnya kesadaran keagamaan macam
ini? Apa peran penting sekolah-sekolah berbasis keagamaan ini di masa
depan?

Beberapa ahli berpendapat bahwa gerakan ini merupakan gerakan
perlawanan dari masyarakat atau titik balik terhadap paham materialisme
yang beberapa waktu yang lalu telah mencapai puncaknya sehingga seluruh
dunia seolah telah berada dalam genggamannya. Paham ini membonceng pada
modernisasi dan melahirkan ‘anak’ pahamnya seperti hedonisme,
pornografi, konsumerisme, kultur MTV, dll. Yang disebut oleh Benjamin
Barber, seorang ilmuwan politik sebagai ‘The McWorld’.
Masyarakat yang mengagungkan nilai-nilai keagamaan, maupun masyarakat
di negara-negara maju yang telah muak dengan ekses paham materialisme
ini, merasa gerah dengan kehidupan sosial yang sangat sekuler tersebut
dan merasa bahwa paham tersebut akan menghancurkan nilai-nilai
kepercayaan dasar ataupun nilai-nilai moral universal yang selama ini
mereka junjung tinggi. Mereka merasa bahwa paham materialisme telah
mencabut akar-akar nilai kepercayaan anak-anak mereka dan mengubah
mereka menjadi penganut-penganut paham materialisme dan turunannya,
atau populernya di kalangan agamawan disebut ‘murtad’. ‘The McWord’
memang sangat besar pengaruhnya untuk ‘memurtadkan’ generasi muda. Para
orang tua dengan cemas melihat betapa anak-anak mereka menjadi
hedonistik, permissif, dan terjerat oleh obat bius. Mereka tergila-gila
pada para ‘pop stars’ dan tidak pernah kenal dengan para pahlawan,
pemimpin ataupun tokoh-tokoh agama mereka. Kultur-kultur yang dibangun
di sekolah ‘umum’ selama ini, terutama di kota-kota besar, kalah telak
bersaing dengan ‘gemerlap’nya daya tarik ‘The McWorld’.
Kecemasan ini mendorong mereka untuk menciptakan suasana-suasana
kultural dimana, mereka berharap, bahwa ‘The McWorld’ tidak akan dapat
menembusnya. Mereka ingin mendidik anak-anak mereka dalam suasana
keagamaan sebanyak mungkin agar pengaruh ‘The McWorld’ tidak
mendominasi jiwa anak-anak mereka.
Sebagian orang tua yang sangat cemas dengan dampak modernisasi kemudian
memilih untuk ‘mensterilkan’ anak-anak mereka dari pengaruh tersebut
samasekali dengan memasukkan anak-anak mereka di pondok-pondok
pesantren, seminari atau biara-biara tradisional dengan pola pengajaran
dan lingkungan yang jauh dari pengaruh modernisasi. Mereka berpikir
bahwa hal tersebut dapat menyelamatkan anak-anak mereka dari pengaruh
kehidupan luar yang dianggap sudah tidak bisa ditolerir tersebut. Tak
sedikit orang tua dari kalangan menengah yang melakukan hal ini dengan
harapan bahwa hal ini akan dapat menyelamatkan anak-anak mereka dari
‘The McWorld’. Pesantren-pesantren tradisional maupun yang berlabel
modern menjadi laku keras.
Tapi usaha ini menghadapi problema serius, yaitu teralienasinya
anak-anak mereka dari kehidupan modern selepas mereka dari pendidikan
tradisional tersebut. Lulusan sekolah-sekolah keagamaan tradisional ini
pada umumnya menjadi gagap dan tak mampu menyesuaikan diri dengan
kehidupan modern. Mereka tersingkir dari kehidupan dunia dan kesulitan
untuk berkontribusi secara aktif dalam kehidupan modern karena mereka
memang tidak dipersiapkan untuk itu. Sebagian besar dari mereka memilih
untuk hidup dengan cara hidup tradisional sebagaimana mereka diajarkan
dan menyingkir dari kehidupan modern. Sebagian dari mereka yang hidup
di kota-kota besar kemudian menyerah dan larut pada kehidupan modern
dengan segala eksesnya. Sebagian kecil kemudian menjadi ekstrim dan
memilih untuk ‘memusuhi’ modernitas yang selama ini dipersepsikan
sebagai ‘induk’ dari semua kejahatan. Mereka menyalahkan modernitas
sebagai penyebab dari ini semua dan sebagai konsekuensinya menolak
modernitas dan berpaling pada konservatisme dan radikalisme.
Jangan pandang enteng pengaruhnya. Trauma psikologis yang diakibatkan
oleh pertentangan ini bisa mengakibatkan efek samping yang fatal.
Seperti yang kita lihat pada begitu banyaknya peristiwa teror pemboman
dimana-mana, krisis identitas dapat mengubah pemuda-pemudi yang taat
pada agamanya menjadi teroris. Mereka akan melihat gempuran paham
materialisme tersebut begitu mengancam sisi lain dari kehidupan mereka
sebagai seorang agamawan yang taat dan merasa perlu untuk beralih
secara radikal menjadi seorang ‘martyr’ atau ‘syuhada’ untuk
mempertahankan paham keagamaan mereka. Semacam ‘necrophilic nihilism’
yang ditampilkan dalam jubah fanatisme agama.
Realita inilah yang membuat para orang tua berpikir untuk membuat
alternatif lain sebagai ganti dari sekolah-sekolah keagamaan
tradisional tersebut. Mereka sadar bahwa meski pendidikan dan kultur
agama sangat diperlukan bagi masa depan anak-anak tapi modernitas juga
mesti diakomodir agar anak-anak mereka juga dapat menjadi pemenang
dalam kehidupan dunia. Sekolah haruslah mampu memberikan bekal
dasar-dasar keagamaan yang cukup untuk menghadapi materialisme dan
sekaligus mampu membuat anak-anak mereka tampil cakap di dunia modern.
Kesadaran inilah yang kemudian menumbuhsuburkan sekolah-sekolah
berbasis keagamaan yang mengusung ilmu pengetahuan dan teknologi modern
dalam kurikulum mereka sebagai upaya untuk memenangi kehidupan dunia.

Materialisme vs Modernitas
Mengapa modernitas dicurigai dan bahkan dimusuhi oleh kaum agamawan
tradisional? Modernitas tidaklah identik dengan paham materialisme.
Modernitas adalah kemajuan jaman sebagai berkah dari ilmu pengetahuan
dan teknologi sedangkan materialisme adalah paham yang menganggap bahwa
hanya materi yang eksis dan yang non-materi hanyalah ilusi para
penganut agama (believers). Modernitas, meski dapat menumbuhkan paham
materialisme, tidaklah bertentangan dengan paham keagamaan. Islam pada
fitrahnya adalah agama yang universal sehingga dianggap mampu untuk
mengikuti perkembangan jaman semodern apapun. Islam tidak menganggap
haram materi ataupun kekayaan meskipun menolak paham materialisme yang
beranggapan bahwa materilah yang paling penting dan menolak segala hal
yang berbau spiritual, termasuk keberadaan Tuhan. Sebaliknya, Islam
menyodorkan keseimbangan dalam memandang kehidupan dunia dan kehidupan
akhirat dan Tuhanlah asal segala sesuatu
Dengan demikian mesti dipahami bahwa modernitas sebagai konsekuensi
dari kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah
‘musuh’ dari paham ketuhanan ataupun agama yang perlu kita tentang atau
jauhi. Perlu diakui bahwa beberapa aspek kehidupan gemerlap dari Barat,
tidaklah semuanya buruk dan ‘sesat'. Tidak ada yang salah jika generasi
muda menggunakan celana jeans, makan ‘fast food’ (lepas dari masalah
kesehatannya), dan mendengarkan musik pop sepanjang mereka tetap
berpegang teguh pada dasar-dasar keimanan tentang Allah dan
perintah-perintahNya. Jika seorang remaja memiliki kesadaran dan
pemahaman tentang aturan-aturan agama yang dianutnya maka ia akan lebih
percaya diri dan mampu menghadapi kehidupan modern tanpa harus tercebur
dan terseret oleh eksesnya yang berwujud paham materialisme. Seorang
remaja yang agamis perlu memahami dan terbuka terhadap kesempatan dan
tawaran dari dunia modern tapi tetap sadar akan pentingnya memegang
integritas dan standar moral dari keyakinan agama yang dimilikinya.
Masalah inti yang perlu ditanamkan adalah keimanan akan Tuhan dan
memandang dunia dengan pikiran dan hati berdasarkan ketuhanan. Jika
seseorang telah menancapkan keimanan dalam hatinya dengan teguh maka ia
tidak perlu menutup diri terhadap perubahan ataupun datangnya budaya
asing. Jika ia telah mencapai kesadaran penuh tentang Tuhan maka ia
sebenarnya telah berjalan dalam bimbingan dan cahaya Tuhan.
Pemahamannya akan ketuhanan (divinity) ataupun spiritualitas akan
memberikan filter baginya dalam menghadapi berbagai paham lain yang
bertentangan dengan paham yang diyakininya
Lantas bagaimana generasi muda dapat memperoleh kesadaran tersebut?
Untuk menjawabnya kita mesti memahami masalah yang kita hadapi terlebih
dahulu. Ekses yang timbul dari modernitas adalah semakin kuatnya peran
ilmu pengetahuan dan teknologi dan semakin ditinggalkannya pemikiran
yang bersifat ketuhanan (divine). Kehidupan modern dapat membuat orang
merasa tidak lagi memerlukan Tuhan dalam kehidupannya. Mereka merasa
bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan segala hal yang
mereka butuhkan dalam kehidupan dan ‘Tuhan telah mati’. Iklan-iklan
menggempur kita dengan kebohongan bahwa kita bisa berbahagia jika
menggunakan produk-produk tertentu. Perusahaan asuransi lebih
dipercayai daripada janji Tuhan dalam buku suci. Ilmu pengetahuan
populer menyodorkan teori bahwa alam semesta ini muncul dengan
sendirinya karena hukum alam semata. Ini semuanya berdasar pada paham
materialisme yang merupakan musuh bersama dari umat beragama dan bukan
modernitas itu sendiri.

Paham Materialisme sebagai Lawan dari Sekolah Berbasis Keagamaan

Sekolah-sekolah berbasis keagamaan mestilah bersatu padu dalam
menghadapi perang ideologi pemahaman ini yaitu perang melawan
materialisme dan ‘anak-anak’ pahamnya. Sekolah-sekolah berbasis
keagamaan seharusnya bergabung dalam suatu ‘persekutuan’ dalam
menentang paham materialisme dengan segala eksesnya tersebut.
Materialisme menolak keberadaan jiwa sebagai spirit dan menganggap
manusia tidak lebih dari molekul-molekul yang tersusun secara canggih
sebagai hukum alam. Pikiran, perasaan dan emosi hanyalah merupakan
reaksi kimia dalam sel otak kita. Singkatnya, materialisme adalah
filosofi yang mendasari ateisme, yang merupakan lawan dari teisme yang
merupakan dasar dari sekolah-sekolah berbasis keagamaan.
Sekolah-sekolah tersebut hendaknya tidak menolak produk dunia modern
seperti ilmu pengetahuan dan teknologi melainkan memusatkan
perhatiannya pada upaya memberantas ‘wabah’ intelektualisme yang
mengajak manusia pada ‘dunia tak bertuhan’. Sesungguhnya yang disebut
sebagai ‘clash of civilization’ bukanlah antara Islam dan Dunia Barat
melainkan Teisme melawan Materialisme, demikian ungkap Mustafa Akyol,
seorang ilmuwan politik dari Turki.
Meski sering saling serang antara sesama umat beragama sehingga
menyebabkan timbulnya kecurigaan satu sama lain selama ini, sebenarnya
tidak ada pertentangan mendasar dari kedua agama besar, Islam dan
Kristen, dalam menghadapi ateisme sebagai ekses dari materialisme. Dari
sudut pandang Islam, orang-orang Nasrani adalah teman dan sekutu
terdekat seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an (5:82). Islam dan
Kristen (dan Yahudi) memiliki persamaan pandangan seperti tertera dalam
Ali Imran (3:64),:”Katakanlah :Wahai Ahli AlKitab. Marilah kita bersatu
kata antara kita, kamu dan kami, bahwa kita tiada menyembah selain
Allah, dan bahwa kita tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun, dan
tidak ada diantara kita yang akan menyembah selain Allah. ….” Keyakinan
bersama tentang Tuhan merupakan modal besar bagi penganut agama samawi
untuk menghadapi ‘clash of civilization’ tersebut. Jika ada
pertarungan besar pada abad 21 maka itu bukanlah antara Islam dan
Barat, melainkan paham ketuhanan, dimana para sarjana dari berbagai
agama bersatu padu, melawan paham materialisme, yang dipelopori oleh
para sarjana ateis. Disinilah peran penting sekolah-sekolah berbasis
keagamaan tersebut di masa mendatang, yaitu sebagai pemasok
ilmuwan-ilmuwan dan sarjana tangguh pembela paham ketuhanan.
Sudah saatnya sekolah-sekolah berbasis keagamaan ini bersatu dan
bekerjasama dalam menghadapi ‘common enemy’, yaitu paham materialisme
dan ateisme. Sudah saatnya mereka menghancurkan rasa saling curiga dan
mengembangkan kepercayaan (trust) agar dapat bekerjasama menuju
kemajuan bersama dalam modernitas. Semoga!

Jakarta, 11 November 2005

Satria Dharma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar